- Dimensi pengalaman memperhitungkan fakta, bahwa semua agama
mempunyai perkiraan tertentu, yaitu orang yang benar-benar religius pada
suatu waktu akan mencapai pengetahuan yang langsung dan subjektif
tentang realitas tertinggi, mampu berhubungan, meskipun singkat, dengan
suatu perantara yang supernatural.
- Dimensi pengetahuan dikaitkan dengan perkiraan, bahwa orang-orang yang
bersikap religius akan memiliki informasi tentang ajaran-ajaran pokok
keyakinan dan upacara keagamaan, kitab suci, dan tradisi-tradisi
keagamaan mereka.
- Dimensi konsekuensi dari komitmen religius berbeda dengan tingkah
laku perseorangan dan pembentukan citra pribadinya.
Masyarakat-masyarakat Industri Sekular
Masyarakat industri bercirikan dinamika dan semakin berpengaruh
terhadap semua aspek kehidupan, sebagian besar penyesuaian-penyesuaian
terhadap alam fisik, tetapi yang penting adalah penyesuaian-penyesuaian
terhadap alam fisik, tetapi yang penting adalah penyesuaian-penyesuaian dalam
hubungan-hubungan kemanusiaan sendiri.
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi mempunyai
konsekuensi penting bagi agama. Salah satu akibatnya adalah anggota
masyarakat semakin terbiasa menggunakan metode empiris berdasarkan
penalaran dan efisiensi dalam menanggapi masalah kemanusiaan, sehingga
lingkungan yang bersifat sekular semakin meluas, sering kali dengan
pengorbanan lingkungan yang sakral. Watak masyarakat sekular, menurut
Roland Robertson (1984), tidak terlalu memberikan tanggapan langsung
terhadap agama. Misalnya pemikiran agama, praktek agama, dan kebiasaankebiasaan
agama peranannya sedikit.
Pada umumnya kecenderungan sekularisasi mempersempit ruang gerak
kepercayaan-kepercayaan dan pengalaman-pengalaman keagamaan yang
terbatas pada aspek yang lebih kecil dan bersifat khusus dalam kehidupan
masyarakat dan anggota-anggotanya.
Pernyataan di atas menimbulkan pertanyaan, apakah masyarakat sekular
akan mampu secara efektif mempertahankan ketertiban umum tanpa
kekerasaninstitusional apabila pengaruh agama telah semakin berkurang.
Barangkali agama akan bereaksi terhadap institusionalisme, impersonalitas,
dan birokrasi masyarakat modern yang semakin bertambah. Akan tetapi bukan
agama yang menerima nilai-nilai institusionalisme baru, melainkan agama
yang bersifat aliran-aliran.
2. PELEMBAGAAN AGAMA
Agama begitu universal, permanen (langgeng), dan mengatur dalam
kehidupan, sehingga bila tidak memahami agama, akan sukar memahami
masyarakat. Hal yang perlu dijawab dalam memahami lembaga agama adalah,
apa dan mengapa agama ada, unsur-unsur dan bentuknya serta fungsi dan
struktur agama.
Dimensi ini mengindentifikasi pengaruh-pengaruh kepercayaan,
praktek, pengalaman, dan pengeta huan keagamaan di dalam kehidupan
sehari-hari. Terkandung makna ajaran "kerja" dalam pengertian
teologis.
Dimensi keyakinan, praktek, pengalaman, dan pengetahuan dapat diterima
sebagai dalil atau dasar analitis, namun hubungan-hubungan antara keempatnya
tidak dapat diungkapkan tanpa data empiris.
Kaitan agama dengan masyarakat dapat mencerminkan tiga tipe, meskipun
tidak menggambarkan sebenarnya secara utuh (Elizabeth K. Nottingham,
1954).
a. Masyarakat yang Terbelakang dan Nilai-nilai Sakral
Masyarakat tipe ini kecil, terisolasi, dan terbelakang. Anggota masyarakat
menganut agama yang sarna. Oleh karenanya keanggotaan mereka dalam
masyarakat dan dalam kelompok keagamaan adalah sarna. Agama
menyusup ke dalam kelompok aktivitas yang lain. Sifat-sifatnya :
1) Agama memasukkan pengaruhnya yang sakral ke dalam sistem nilai
masyarakat secara mutlak.
2) Dalam keadaan lembaga lain selain keluarga relatif belum
berkembang, agama jelas menjadi fokus utama bagi pengintegrasian
dan persatuan dari masyarakat secara keseluruhan. Dalam hal ini
nilai-nilai agama sering meningkatkan konservatisme dan
menghalangi perubahan
.
b. Masyarakat-masyarakat Praindustri yang Sedang Berkembang.
Keadaan masyarakatnya tidak terisolasi, ada perkembangan teknologi
yang lebih tinggi daripada tipe pertama. Agama memberikan arti dan
ikatan kepada sistem nilai dalam tiap masyarakat ini, tetapi pada saat
yang sama lingkungan yang sakral dan yang sekular itu sedikitbanyaknya
masih dapat dibedakan. Fase-fase kehidupan sosial diisi
dengan upacara-upacara tertentu. Di lain pihak, agama tidak memberikan
dukungan sempurna terhadap aktivitas sehari-hari; agama hanya
memberikan dukungan terhadap adat-istiadat, dan terkadang merupakan
suatu sistem tingkah laku tandingan terhadap sistem yang telah disahkan.
Nilai-nilai keagamaan dalam masyarakat menempatkan fokus utamanya
pada pengintegrasian kaitan agama dengan masyarakat. Tugas ini tidak
mudah sebab agama lebih tahan terhadap kajian ilmiah dibandingkan
dengan adat dan kebiasaan. Hal ini disebabkan oleh dua hal, yaitu
pandangan yang emosional dan fikiran yang bias (rational bias).
Kebiasaan pandangan emosional ini akibat agama dengan segala
sifatnya melibatkan nilai-nilai dasar yang menyebabkan agama itu
hampir tidak mungkin dipandang dengan sikap yang netral. Pengamat
biasanya sampai pada kesimpulan, bahwa agama bersifat mengelabui
pikiran dan terbelakang, atau menyimpulkan agama bagi penganutnya
terbaik dan tertinggi. Bila pengamat tadi menguraikannya secara ilmiah,
maka ia akan memperlihatkan pandangan yang sifatnya menyalahkan
atau membenarkan.
Pendekatan rasional terhadap agama dengan penjelasan ilmiah
biasanya akan mengacu dan berpedoman pada tingkah laku yang sifatnya
ekonomi s dan teknologis, dan tentu kurang baik. Karena dalam tingkah
laku unsur rasional akan lebih banyak, dan bila dikaitkan dengan agama
yang melibatkan unsur-unsur pengetahuan di luar jangkauan manusia
(transendental), seperangkat simbol dan keyakinan yang kuat, hal ini
nampaknya keliru.
Bila sifat rasional penuh dalam membahas agama yang ada pada
manusia, maka berarti bersifat nonagama. Karena itu pendekatan dalam
memandang agama hanya sebagai suatu gejala (fenomena) atau kejadian.
Ilmuwan yang menganut pandangan ini, juga akhirnya kecewa
mengetahui adanya manusia dengan sifat nonrasional mutlak atau terusmenerus
nonrasional. Akhirnya ilmuwan akan kembali kepada
interpretasi biologis, yang menganggap bahwa agama adalah ungkapan
perasaan yang bersifat naluri (instink). Sebenarnya pandangan ini sama
kelirunya karena tingkah laku agama (menurut penganut pada agama
ini) sifatnya tidak rasional, dan kesimpulannya harus berdasarkan naluri.
Justru sebenarnya tingkah laku agama yang sifatnya tidak rasional ini
memberikan manfaat bagi kehidupan manusia.
Agama melalui wahyunya atau kitab sucinya memberikan petunjuk
kepada manusia guna memenuhi kebutuhan mendasar, yaitu selamat di
dunia dan selamat di akhirat. di dalam perjuangannya tentu tidak boleh
lalai. Untuk kepentingan tersebut perlu jaminan yang memberikan rasa
aman bagi pemeluknya. Maka agama masuk dalam sistem ke1embagaan
dan menjadi sesuatu yang rutin. Agama menjadi salah satu aspek
kehidupan semua kelompok sosial, merupakan fenomena yang menyebar
mulai dari bentuk perkumpulan manusia, keluarga, kelompok kerja, yang
dalam beberapa hal penting bersifat keagamaan.
Bermula dari para ahli agama yang mempunyai pengalaman agama
dan adanya fungsi deferensiasi internal dan stratifikasi yang ditimbulkan
oleh perkembangan agama, maka tampillah organisasi keagamaan yang
terlembaga dan fungsinya adalah mengelola masalah keagamaan. Adanya
organisasi keagamaan ini, meningkatnya pembagian kerja dan spesifikasi
fungsi, memberikan kesempatan untuk memuaskan kebutuhan ekspresif
dan adatif.
Pengalaman tokoh agama dan juga merupakan pengalaman
kharismatik, akan melahirkan suatu bentuk perkumpulan keagamaan, yang
kemudian menjadi organisasi keagamaan terlembaga. Pengunduran diri
atau kematian figur kharismatik, akan melahirkan krisis kesinambungan.
Analisis yang perlu adalah mencoba memasukkan struktur dan pengalaman
agama, sebab pengalaman agama, apabila dibicarakan, akan terbatas pada
orang yang mengalaminya. Hal penting adalah mempelajari "wahyu"
atau kitab sucinya, sebab lembaga keagamaan itu sendiri merupakan
refleksi dari pengalaman ajaran wahyunya.
Lembaga-lembaga keagamaan pada puncaknya berupa peribadatan,
pola ide-ide dan keyakinan-keyakinan, dan tampil pula sebagai asosiasi
atau organisasi. Misalnya pada kewajiban ibadah haji dan munculnya
organisasi keagamaan.
Lembaga ibadah haji dimulai dari terlibatnya berbagai peritiwa. Ada
nama-nama penting seperti Adam, Ibrahim, Hajar, dan juga syetaan;
tempatnya adalah Masjidil-Haram, Mas'a, Arafah, Masy'ar, Mina, dan
Ka'bah yang merupakan simbol penting; ada peristiwa kurban, pakaian
ihram, dan sebagainya. Adam dan Hawa dalam keadaan terpisah,
kemudian keduanya berdoa: "Ya, Tuhan kami, kami telah menganiaya
diri sendiri, dan jika engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat
kepada kami, niscayalah kami termasuk orang-orang yang merugi." (alAraf:
23) Setelah itu allah memerintahkan Adam untuk ibadah haji (pergi
ke sesuatu untuk mengunjunginya). Tatkala sampai di suatu tempat
(Arafah =tahu, kenaI), maka bertemulah ia dengan Hawa setelah diusir
dari surga. Sebab itu dalam haji ada ketentuan wukuf (singgah). Nama
Ibrahim selalu dikaitkan dengan Ka'bah sebagai pusat rohani agama Islam
(kiblatnya agama Islam). Pada suatu peristiwa Allah memerintahkan Jibril
membawa Ibrahim, Siti Hajar (istrinya), dan Ismail (putranya) yang masih
kecil ke Makkah dari Palestina. Di suatu tempat, Ibrahim atas perintah
Allah supaya meninggalkan istrinya. Hajar, dan anaknya, Ismail.
Sepeninggalnya, Ismail menangis minta air. Tentu saja Hajar menjadi
gelisah, maka ia lari mencari air ke bukit Shafa dan Marwa tujuh kali.
Setelah itu, dengan kuasa tuhan, memancarlah air dari dekat kaki Ismail.
Sebab itu dalam rukun haji ada sa'yi (berlari kecil). Hajar merupakan
lambang itu yang bertanggung jawab, tidak pasrah, perjuangan fisik, dan
meniadakan diri tenggelam ke dalam samudera cinta. Kurban dikaitkan
resmi dengan ibadah haji. Lembaga ini berhubungan dengan sejarah rohani
Ibrahim setelah ada perintah allah untuk menyembelih anaknya, Ismail,
untuk menguji kesempurnaan tauhidnya (monoteisme). Sewaktu akan
penyembelihan akan dilaksanakan, syetan sempat mengoda Ibrahim, agar
hajar dan Ismail tidak melaksanakan perintah penyembelihannya. Untuk
mengenang peristiwa tersebut, sewaktu ibadah haji diwajibkan melempar
dengan batu (jumrah). Sewaktu Ismail akan disembelih oleh Ibrahim,
ternyata oleh allah ia diganti dengan seekor gibas (domba) jantan. firman
Allah: "Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap allah yaitu
bagi orang yang sanggup mengadakan perjalanan pergi ke sana. Barang
siapa yang kafir (terhadap kewajiban haji), maka bahwasanya Allah
Mahakuasa (tidak memerlukan sesuatu dari alam semesta)," (AI-quran
3:97). Jadi, kewajiban tersebut esensinya adalah evolusi manusia menuju
allah dengan pengalaman agama yang penting. Mengandung simbolis
dari filsafat "penciptaan Adam", "sejarah", "keesaan", "ideologi Islam",
dan "ummah".
Organisasii keagamaan yang tumbuh secara khusus semula dari
pengalaman agama tokoh kharismatik pendiri organisasi, kemudian
menjadi organisasi keagamaan yang terlembaga. Muhammadiyah, sebuah
organisasi sosial Islam yang penting, dipelopori oleh pribadi Kiai Haji
ahmad Dahlan yang menyebarkan pemikiran Muhammad Abduh dari
Tafsir AI-Manar. ayat suci al-quran telah memberi inspirasi kepada Dahlan
untuk mendirikan Muhammadiyah. Salah satu motto-nya ialah, bahwa
Muhammadiyah dipandang sebagai "segolongan dari kaurn" rnengajak
kepada kebaikan, mencegah perbuatan jahat (arnar rna'ruf nahi' anil
munkar). Organisasi agama ini tidak lepas dari tokoh kharismatik Dahlan
(di Indonesia) dan Abduh yang memikat Dahlan, terutama dalam praktek
lahiriah dan pembaharuan pemikiran (ijtihad) menyangkut masalah fundamental
masyarakat dan umat Islam. Demikian pula nadlatul Ulama
(NU), yang artinya "kebangkitan ulama", menekankan keterikatan pada
mazhab Sjafii, dan mengimbangi golongan pembaharu. Semula organisasi
ini tidak mempunyai anggaran dasar (tahun 1926), baru setelah tahun
1927 organisasi ini dirumuskan. Kegiatannya, selain tertib beragama,
juga memperbaiki kehidupan sosial masyarakat.
Dari contoh sosial, lembaga keagamaan berkembang sebagai pola
ibadah, pola ide-ide, ketentuan (keyakinan), dan tampil sebagai bentuk
asosiasi atau organisasi. Pelembagaan agama puncaknya terjadi pada
tingkat intelektual, tingkat pemujaan (ibadat), dan tingkat organisasi.
Tampilnya organisasi agama adalah akibat adanya "perubahan batin"
atau kedalaman beragama, mengimbangi perkembangan masyarakat dalam
hal alokasi fungsi, fasilitas, produksi, pendidikan, dan sebagainya. Agama
menuju ke pengkhususan fungsional. Pengaitan agama tersebut mengambil
bentuk dalam berbagai corak organisasi keagamaan.
0 komentar:
Posting Komentar