Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image

PRASANGKA DISKRIMINASI DAN ETNOSENTRISME bab 10

  • Rabu, 24 November 2010
  • fajar adhi
  • Label:
  • - Dimensi pengalaman memperhitungkan fakta, bahwa semua agama
    mempunyai perkiraan tertentu, yaitu orang yang benar-benar religius pada
    suatu waktu akan mencapai pengetahuan yang langsung dan subjektif
    tentang realitas tertinggi, mampu berhubungan, meskipun singkat, dengan
    suatu perantara yang supernatural.
    - Dimensi pengetahuan dikaitkan dengan perkiraan, bahwa orang-orang yang
    bersikap religius akan memiliki informasi tentang ajaran-ajaran pokok
    keyakinan dan upacara keagamaan, kitab suci, dan tradisi-tradisi
    keagamaan mereka.
    - Dimensi konsekuensi dari komitmen religius berbeda dengan tingkah
    laku perseorangan dan pembentukan citra pribadinya.

    Masyarakat-masyarakat Industri Sekular

    Masyarakat industri bercirikan dinamika dan semakin berpengaruh
    terhadap semua aspek kehidupan, sebagian besar penyesuaian-penyesuaian
    terhadap alam fisik, tetapi yang penting adalah penyesuaian-penyesuaian
    terhadap alam fisik, tetapi yang penting adalah penyesuaian-penyesuaian dalam
    hubungan-hubungan kemanusiaan sendiri.
    Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi mempunyai
    konsekuensi penting bagi agama. Salah satu akibatnya adalah anggota
    masyarakat semakin terbiasa menggunakan metode empiris berdasarkan
    penalaran dan efisiensi dalam menanggapi masalah kemanusiaan, sehingga
    lingkungan yang bersifat sekular semakin meluas, sering kali dengan
    pengorbanan lingkungan yang sakral. Watak masyarakat sekular, menurut
    Roland Robertson (1984), tidak terlalu memberikan tanggapan langsung
    terhadap agama. Misalnya pemikiran agama, praktek agama, dan kebiasaankebiasaan
    agama peranannya sedikit.
    Pada umumnya kecenderungan sekularisasi mempersempit ruang gerak
    kepercayaan-kepercayaan dan pengalaman-pengalaman keagamaan yang
    terbatas pada aspek yang lebih kecil dan bersifat khusus dalam kehidupan
    masyarakat dan anggota-anggotanya.
    Pernyataan di atas menimbulkan pertanyaan, apakah masyarakat sekular
    akan mampu secara efektif mempertahankan ketertiban umum tanpa
    kekerasaninstitusional apabila pengaruh agama telah semakin berkurang.
    Barangkali agama akan bereaksi terhadap institusionalisme, impersonalitas,
    dan birokrasi masyarakat modern yang semakin bertambah. Akan tetapi bukan
    agama yang menerima nilai-nilai institusionalisme baru, melainkan agama
    yang bersifat aliran-aliran.

    2. PELEMBAGAAN AGAMA

    Agama begitu universal, permanen (langgeng), dan mengatur dalam
    kehidupan, sehingga bila tidak memahami agama, akan sukar memahami
    masyarakat. Hal yang perlu dijawab dalam memahami lembaga agama adalah,
    apa dan mengapa agama ada, unsur-unsur dan bentuknya serta fungsi dan
    struktur agama.
    Dimensi ini mengindentifikasi pengaruh-pengaruh kepercayaan,
    praktek, pengalaman, dan pengeta huan keagamaan di dalam kehidupan
    sehari-hari. Terkandung makna ajaran "kerja" dalam pengertian
    teologis.
    Dimensi keyakinan, praktek, pengalaman, dan pengetahuan dapat diterima
    sebagai dalil atau dasar analitis, namun hubungan-hubungan antara keempatnya
    tidak dapat diungkapkan tanpa data empiris.
    Kaitan agama dengan masyarakat dapat mencerminkan tiga tipe, meskipun
    tidak menggambarkan sebenarnya secara utuh (Elizabeth K. Nottingham,
    1954).

    a. Masyarakat yang Terbelakang dan Nilai-nilai Sakral
    Masyarakat tipe ini kecil, terisolasi, dan terbelakang. Anggota masyarakat
    menganut agama yang sarna. Oleh karenanya keanggotaan mereka dalam
    masyarakat dan dalam kelompok keagamaan adalah sarna. Agama
    menyusup ke dalam kelompok aktivitas yang lain. Sifat-sifatnya :
    1) Agama memasukkan pengaruhnya yang sakral ke dalam sistem nilai
    masyarakat secara mutlak.
    2) Dalam keadaan lembaga lain selain keluarga relatif belum
    berkembang, agama jelas menjadi fokus utama bagi pengintegrasian
    dan persatuan dari masyarakat secara keseluruhan. Dalam hal ini
    nilai-nilai agama sering meningkatkan konservatisme dan
    menghalangi perubahan
    .
    b. Masyarakat-masyarakat Praindustri yang Sedang Berkembang.
    Keadaan masyarakatnya tidak terisolasi, ada perkembangan teknologi
    yang lebih tinggi daripada tipe pertama. Agama memberikan arti dan
    ikatan kepada sistem nilai dalam tiap masyarakat ini, tetapi pada saat
    yang sama lingkungan yang sakral dan yang sekular itu sedikitbanyaknya
    masih dapat dibedakan. Fase-fase kehidupan sosial diisi
    dengan upacara-upacara tertentu. Di lain pihak, agama tidak memberikan
    dukungan sempurna terhadap aktivitas sehari-hari; agama hanya
    memberikan dukungan terhadap adat-istiadat, dan terkadang merupakan
    suatu sistem tingkah laku tandingan terhadap sistem yang telah disahkan.
    Nilai-nilai keagamaan dalam masyarakat menempatkan fokus utamanya
    pada pengintegrasian kaitan agama dengan masyarakat. Tugas ini tidak
    mudah sebab agama lebih tahan terhadap kajian ilmiah dibandingkan
    dengan adat dan kebiasaan. Hal ini disebabkan oleh dua hal, yaitu
    pandangan yang emosional dan fikiran yang bias (rational bias).
    Kebiasaan pandangan emosional ini akibat agama dengan segala
    sifatnya melibatkan nilai-nilai dasar yang menyebabkan agama itu
    hampir tidak mungkin dipandang dengan sikap yang netral. Pengamat
    biasanya sampai pada kesimpulan, bahwa agama bersifat mengelabui
    pikiran dan terbelakang, atau menyimpulkan agama bagi penganutnya
    terbaik dan tertinggi. Bila pengamat tadi menguraikannya secara ilmiah,
    maka ia akan memperlihatkan pandangan yang sifatnya menyalahkan
    atau membenarkan.
    Pendekatan rasional terhadap agama dengan penjelasan ilmiah
    biasanya akan mengacu dan berpedoman pada tingkah laku yang sifatnya
    ekonomi s dan teknologis, dan tentu kurang baik. Karena dalam tingkah
    laku unsur rasional akan lebih banyak, dan bila dikaitkan dengan agama
    yang melibatkan unsur-unsur pengetahuan di luar jangkauan manusia
    (transendental), seperangkat simbol dan keyakinan yang kuat, hal ini
    nampaknya keliru.
    Bila sifat rasional penuh dalam membahas agama yang ada pada
    manusia, maka berarti bersifat nonagama. Karena itu pendekatan dalam
    memandang agama hanya sebagai suatu gejala (fenomena) atau kejadian.
    Ilmuwan yang menganut pandangan ini, juga akhirnya kecewa
    mengetahui adanya manusia dengan sifat nonrasional mutlak atau terusmenerus
    nonrasional. Akhirnya ilmuwan akan kembali kepada
    interpretasi biologis, yang menganggap bahwa agama adalah ungkapan
    perasaan yang bersifat naluri (instink). Sebenarnya pandangan ini sama
    kelirunya karena tingkah laku agama (menurut penganut pada agama
    ini) sifatnya tidak rasional, dan kesimpulannya harus berdasarkan naluri.
    Justru sebenarnya tingkah laku agama yang sifatnya tidak rasional ini
    memberikan manfaat bagi kehidupan manusia.
    Agama melalui wahyunya atau kitab sucinya memberikan petunjuk
    kepada manusia guna memenuhi kebutuhan mendasar, yaitu selamat di
    dunia dan selamat di akhirat. di dalam perjuangannya tentu tidak boleh
    lalai. Untuk kepentingan tersebut perlu jaminan yang memberikan rasa
    aman bagi pemeluknya. Maka agama masuk dalam sistem ke1embagaan
    dan menjadi sesuatu yang rutin. Agama menjadi salah satu aspek
    kehidupan semua kelompok sosial, merupakan fenomena yang menyebar
    mulai dari bentuk perkumpulan manusia, keluarga, kelompok kerja, yang
    dalam beberapa hal penting bersifat keagamaan.
    Bermula dari para ahli agama yang mempunyai pengalaman agama
    dan adanya fungsi deferensiasi internal dan stratifikasi yang ditimbulkan
    oleh perkembangan agama, maka tampillah organisasi keagamaan yang
    terlembaga dan fungsinya adalah mengelola masalah keagamaan. Adanya
    organisasi keagamaan ini, meningkatnya pembagian kerja dan spesifikasi
    fungsi, memberikan kesempatan untuk memuaskan kebutuhan ekspresif
    dan adatif.
    Pengalaman tokoh agama dan juga merupakan pengalaman
    kharismatik, akan melahirkan suatu bentuk perkumpulan keagamaan, yang
    kemudian menjadi organisasi keagamaan terlembaga. Pengunduran diri
    atau kematian figur kharismatik, akan melahirkan krisis kesinambungan.
    Analisis yang perlu adalah mencoba memasukkan struktur dan pengalaman
    agama, sebab pengalaman agama, apabila dibicarakan, akan terbatas pada
    orang yang mengalaminya. Hal penting adalah mempelajari "wahyu"
    atau kitab sucinya, sebab lembaga keagamaan itu sendiri merupakan
    refleksi dari pengalaman ajaran wahyunya.
    Lembaga-lembaga keagamaan pada puncaknya berupa peribadatan,
    pola ide-ide dan keyakinan-keyakinan, dan tampil pula sebagai asosiasi
    atau organisasi. Misalnya pada kewajiban ibadah haji dan munculnya
    organisasi keagamaan.
    Lembaga ibadah haji dimulai dari terlibatnya berbagai peritiwa. Ada
    nama-nama penting seperti Adam, Ibrahim, Hajar, dan juga syetaan;
    tempatnya adalah Masjidil-Haram, Mas'a, Arafah, Masy'ar, Mina, dan
    Ka'bah yang merupakan simbol penting; ada peristiwa kurban, pakaian
    ihram, dan sebagainya. Adam dan Hawa dalam keadaan terpisah,
    kemudian keduanya berdoa: "Ya, Tuhan kami, kami telah menganiaya
    diri sendiri, dan jika engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat
    kepada kami, niscayalah kami termasuk orang-orang yang merugi." (alAraf:
    23) Setelah itu allah memerintahkan Adam untuk ibadah haji (pergi
    ke sesuatu untuk mengunjunginya). Tatkala sampai di suatu tempat
    (Arafah =tahu, kenaI), maka bertemulah ia dengan Hawa setelah diusir
    dari surga. Sebab itu dalam haji ada ketentuan wukuf (singgah). Nama
    Ibrahim selalu dikaitkan dengan Ka'bah sebagai pusat rohani agama Islam
    (kiblatnya agama Islam). Pada suatu peristiwa Allah memerintahkan Jibril
    membawa Ibrahim, Siti Hajar (istrinya), dan Ismail (putranya) yang masih
    kecil ke Makkah dari Palestina. Di suatu tempat, Ibrahim atas perintah
    Allah supaya meninggalkan istrinya. Hajar, dan anaknya, Ismail.
    Sepeninggalnya, Ismail menangis minta air. Tentu saja Hajar menjadi
    gelisah, maka ia lari mencari air ke bukit Shafa dan Marwa tujuh kali.
    Setelah itu, dengan kuasa tuhan, memancarlah air dari dekat kaki Ismail.
    Sebab itu dalam rukun haji ada sa'yi (berlari kecil). Hajar merupakan
    lambang itu yang bertanggung jawab, tidak pasrah, perjuangan fisik, dan
    meniadakan diri tenggelam ke dalam samudera cinta. Kurban dikaitkan
    resmi dengan ibadah haji. Lembaga ini berhubungan dengan sejarah rohani
    Ibrahim setelah ada perintah allah untuk menyembelih anaknya, Ismail,
    untuk menguji kesempurnaan tauhidnya (monoteisme). Sewaktu akan
    penyembelihan akan dilaksanakan, syetan sempat mengoda Ibrahim, agar
    hajar dan Ismail tidak melaksanakan perintah penyembelihannya. Untuk
    mengenang peristiwa tersebut, sewaktu ibadah haji diwajibkan melempar
    dengan batu (jumrah). Sewaktu Ismail akan disembelih oleh Ibrahim,
    ternyata oleh allah ia diganti dengan seekor gibas (domba) jantan. firman
    Allah: "Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap allah yaitu
    bagi orang yang sanggup mengadakan perjalanan pergi ke sana. Barang
    siapa yang kafir (terhadap kewajiban haji), maka bahwasanya Allah
    Mahakuasa (tidak memerlukan sesuatu dari alam semesta)," (AI-quran
    3:97). Jadi, kewajiban tersebut esensinya adalah evolusi manusia menuju
    allah dengan pengalaman agama yang penting. Mengandung simbolis
    dari filsafat "penciptaan Adam", "sejarah", "keesaan", "ideologi Islam",
    dan "ummah".
    Organisasii keagamaan yang tumbuh secara khusus semula dari
    pengalaman agama tokoh kharismatik pendiri organisasi, kemudian
    menjadi organisasi keagamaan yang terlembaga. Muhammadiyah, sebuah
    organisasi sosial Islam yang penting, dipelopori oleh pribadi Kiai Haji
    ahmad Dahlan yang menyebarkan pemikiran Muhammad Abduh dari
    Tafsir AI-Manar. ayat suci al-quran telah memberi inspirasi kepada Dahlan
    untuk mendirikan Muhammadiyah. Salah satu motto-nya ialah, bahwa
    Muhammadiyah dipandang sebagai "segolongan dari kaurn" rnengajak
    kepada kebaikan, mencegah perbuatan jahat (arnar rna'ruf nahi' anil
    munkar). Organisasi agama ini tidak lepas dari tokoh kharismatik Dahlan
    (di Indonesia) dan Abduh yang memikat Dahlan, terutama dalam praktek
    lahiriah dan pembaharuan pemikiran (ijtihad) menyangkut masalah fundamental
    masyarakat dan umat Islam. Demikian pula nadlatul Ulama
    (NU), yang artinya "kebangkitan ulama", menekankan keterikatan pada
    mazhab Sjafii, dan mengimbangi golongan pembaharu. Semula organisasi
    ini tidak mempunyai anggaran dasar (tahun 1926), baru setelah tahun
    1927 organisasi ini dirumuskan. Kegiatannya, selain tertib beragama,
    juga memperbaiki kehidupan sosial masyarakat.
    Dari contoh sosial, lembaga keagamaan berkembang sebagai pola
    ibadah, pola ide-ide, ketentuan (keyakinan), dan tampil sebagai bentuk
    asosiasi atau organisasi. Pelembagaan agama puncaknya terjadi pada
    tingkat intelektual, tingkat pemujaan (ibadat), dan tingkat organisasi.
    Tampilnya organisasi agama adalah akibat adanya "perubahan batin"
    atau kedalaman beragama, mengimbangi perkembangan masyarakat dalam
    hal alokasi fungsi, fasilitas, produksi, pendidikan, dan sebagainya. Agama
    menuju ke pengkhususan fungsional. Pengaitan agama tersebut mengambil
    bentuk dalam berbagai corak organisasi keagamaan.




    0 komentar:

    Posting Komentar